Pembangunan fasilitas pariwisata di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, memicu kontroversi besar. PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) berencana membangun ratusan vila dan infrastruktur mewah di kawasan konservasi ini. Meski Kementerian Kehutanan menegaskan komitmen terhadap kelestarian lingkungan, banyak pihak khawatir proyek ini mengancam habitat komodo dan status warisan dunia UNESCO. Apa sebenarnya yang terjadi di balik rencana fasilitas pariwisata ini?
Latar Belakang Pembangunan Fasilitas Pariwisata
Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa PT KWE telah mengantongi izin sejak 2014 untuk mengembangkan fasilitas pariwisata di zona pemanfaatan Pulau Padar. Rencana ini mencakup pembangunan 619 bangunan, termasuk 448 vila, 13 restoran, 7 lounge, 7 pusat kebugaran, 7 spa, 67 kolam renang, serta sebuah bar besar dan wedding chapel. Namun, luas pembangunan hanya mencakup 15,375 hektare, atau 5,64% dari total 274,13 hektare izin yang diberikan, dan akan dilakukan bertahap dalam tujuh blok lokasi. Proyek ini masih dalam tahap konsultasi publik untuk Environmental Impact Assessment (EIA), sesuai standar UNESCO dan IUCN.
Dampak terhadap Habitat Komodo dan Warisan Dunia
Sebagai salah satu pulau utama di Taman Nasional Komodo, Pulau Padar memiliki nilai ekologi dan estetika yang tinggi, termasuk Pink Beach yang ikonik. Namun, rencana pembangunan fasilitas pariwisata memicu kekhawatiran akan kerusakan habitat komodo, yang status konservasinya telah berubah menjadi “terancam punah” menurut IUCN pada 2021. UNESCO juga menyoroti perubahan zonasi tahun 2012 yang tidak dilaporkan, yang mengalihfungsikan zona rimba menjadi zona pemanfaatan, serta tidak adanya kewajiban AMDAL sebelumnya untuk proyek serupa. Hal ini berpotensi mengganggu Outstanding Universal Value (OUV) situs warisan dunia.
Ketegangan dengan Masyarakat Adat dan Pelaku Wisata
Selain itu, warga adat Ata Modo dan pelaku wisata lokal menolak keras proyek ini. Mereka menilai pemberian konsesi besar kepada PT KWE, termasuk 151,94 hektare di Loh Liang, Pulau Komodo, sebagai bentuk ketidakadilan agraria. Konsesi ini jauh lebih luas dibandingkan izin lahan untuk masyarakat lokal. Protes semakin menggema melalui tagar #SavePadar di media sosial, mencerminkan keresahan akan hilangnya mata pencaharian dan dampak lingkungan. Konsultasi publik pada 23 Juli 2025 di Labuan Bajo dianggap tidak cukup melibatkan warga, dengan banyak yang memilih absen sebagai bentuk penolakan.
Komitmen Pemerintah dan Sorotan UNESCO
Kementerian Kehutanan menegaskan bahwa pembangunan fasilitas pariwisata tidak akan dimulai sebelum EIA disetujui oleh UNESCO dan IUCN. Proses ini merespons hasil Reactive Monitoring Mission 2022 serta keputusan Sidang WHC ke-46 dan ke-47. Namun, UNESCO meminta evaluasi menyeluruh terhadap semua izin usaha di Taman Nasional Komodo, termasuk konsesi perusahaan lain seperti PT Segara Komodo Lestari dan PT Palma Hijau Cemerlang. Laporan konservasi terbaru harus diserahkan paling lambat 1 Desember 2026 untuk memastikan perlindungan OUV tetap terjaga.
Polemik fasilitas pariwisata di Pulau Padar mencerminkan konflik antara pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Meski pemerintah menjanjikan pendekatan berbasis konservasi, kekhawatiran masyarakat dan sorotan UNESCO menunjukkan perlunya transparansi dan keterlibatan publik yang lebih besar. Pembaca diajak untuk terus mengikuti perkembangan isu ini dan mendukung upaya pelestarian Taman Nasional Komodo sebagai warisan dunia yang tak ternilai.