Mediainfo.biz – Anggota DPRD Jabar melayangkan kritik terhadap gagasan Gubernur Dedi Mulyadi yang menginisiasi gerakan donasi seribu rupiah per hari. Simak poin kritik dan tanggapan yang muncul.
Pendahuluan
Gagasan baru muncul dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) ketika Gubernur Dedi Mulyadi menginisiasi gerakan donasi harian sejumlah Rp 1.000 per hari bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), siswa sekolah, dan masyarakat umum—dikenal dengan nama Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu atau Poe Ibu. Namun, inisiasi tersebut segera menuai kritik tajam dari kalangan legislatif, khususnya anggota DPRD Jawa Barat, yang menilai ide itu berpotensi membebani masyarakat serta mencerminkan manajemen keuangan publik yang lemah.
Artikel ini akan membahas latar belakang gerakan tersebut, poin-poin kritikan dari DPRD Jabar, argumen pendukung dan penolakan, serta implikasi kebijakan jika diterapkan.
Latar Belakang Gerakan “Seribu Sehari”
Gerakan donasi Rp 1.000 per hari digagas melalui Surat Edaran Provinsi Jabar Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu). Inisiatif ini meminta agar ASN, pelajar, dan masyarakat menyisihkan donasi harian sebesar Rp 1.000, dengan tujuan untuk memperkuat solidaritas sosial dan menyokong kebutuhan masyarakat yang rentan.
Menurut pendukung ide ini, langkah kecil ini jika dilakukan secara massal dan konsisten bisa menghasilkan angka yang tidak sedikit untuk program sosial di provinsi. Namun, pelaksanaannya segera disoal oleh legislatif, terutama dari fraksi PPP dalam DPRD Jabar.
BACA JUGA : Jelang Pertandingan Timnas Indonesia vs Arab Saudi
Kritik DPRD Jabar terhadap Inisiasi Gerakan
1. Potensi Beban Tambahan bagi Masyarakat
Banyak anggota DPRD Jabar menilai bahwa kebijakan tersebut terlalu dipaksakan atas nama solidaritas. Misalnya, Zaini Shofari (anggota Komisi V DPRD Jabar dari PPP) menyebut bahwa menargetkan semua lapisan masyarakat—termasuk siswa—untuk menyumbang harian adalah ide yang kurang bijaksana karena beban itu bisa dirasakan sebagai pungutan terselubung.
Bagi ASN, mungkin tidak terlalu terasa, tetapi bagi keluarga berpenghasilan rendah atau siswa yang memiliki kebutuhan pokok lain, menyisihkan Rp 1.000 setiap hari bisa terasa. Zaini juga mengkhawatirkan bahwa kebijakan itu akan disalahpahami sebagai kewajiban formal dan menimbulkan tekanan sosial.
2. Menunjukkan Kelemahan Manajemen Keuangan Pemerintah
Kritikus dari DPRD Jabar menilai bahwa apabila pemerintah provinsi meminta donasi dari masyarakat secara rutin, hal itu bisa dianggap sebagai pengakuan kelemahan pengelolaan keuangan daerah. Sebab seharusnya program kesejahteraan seperti bantuan sosial, kesehatan, dan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah melalui APBD, bukan bergantung pada sumbangan warga.
Zaini menyebut bahwa gerakan ini bisa menjadi simbol bahwa Pemprov Jabar “tidak bisa urus uang” sehingga kemudian melibatkan publik dalam penyediaan anggaran.
3. Potensi Pungutan di Sekolah
Kritik lebih tajam datang dari gagasan bahwa siswa sekolah ikut didorong menyumbang. Menurut Zaini, ini bisa menyerupai pungutan atas nama aktivitas sekolah, yang secara prinsip tidak diperbolehkan tanpa ketentuan jelas.
DPRD Jabar melihat risiko bahwa institusi sekolah yang lemah mengelola keuangan bisa menekan orang tua siswa agar ikut menyumbang, yang kemudian bisa menjadi beban sosial terselubung.
4. Sikap Fraksi Berbeda dalam DPRD
Meski kritik datang dari PPP dan sejumlah anggota, ada juga anggota DPRD Jabar dari Fraksi PDIP seperti Ono Surono yang menyatakan bahwa gerakan tersebut perlu diuji dulu sebelum disimpulkan sebagai beban atau ide jelek. Artinya, tidak semua fraksi langsung menolak; sebagian memberi ruang evaluasi praktiknya.
Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa di antara lembaga legislatif sendiri ada dialog tentang bagaimana kebijakan tersebut harus dirumuskan dan diimplementasikan.
Argumen Pendukung dan Perspektif Penggagas
Di sisi pendukung, gerakan Rp 1.000 sehari dipandang sebagai simbol gotong royong, kebersamaan, dan partisipasi masyarakat dalam program sosial. Bahkan meski jumlahnya kecil, jika dilakukan massal, akumulasi donasi bisa memberikan kontribusi nyata untuk program bantuan di masyarakat.
Beberapa argumen pendukung antara lain:
- Memupuk budaya berbagi dan solidaritas.
- Membantu daerah menyalurkan bantuan tambahan kepada warga yang kurang mampu.
- Mendorong kesadaran kolektif bahwa setiap orang bisa berkontribusi meski nominal kecil.
Namun, argumen ini harus dibarengi dengan transparansi penggunaan donasi serta batasan yang jelas agar tidak berubah menjadi kewajiban formal yang menyulitkan masyarakat.
Implikasi dan Tantangan Implementasi
Jika gerakan “Rp 1.000 sehari” diterapkan secara formal, ada beberapa konsekuensi dan tantangan yang harus diperhatikan:
- Pengelolaan dana dan transparansi
Tanpa sistem akuntabilitas yang jelas, potensi penyalahgunaan atau kebingungan alokasi dana sangat tinggi. - Beban administratif
Melacak donasi harian dari ribuan ASN, siswa, dan warga memerlukan sistem administrasi yang efisien. - Keadilan sosial
Kebijakan harus mempertimbangkan bahwa tidak semua warga berada dalam kondisi ekonomi yang sama; kebijakan “sumbangan” harus fleksibel atau sukarela agar tidak memberatkan. - Integrasi dengan APBD dan program daerah
Donasi seharusnya tidak menggantikan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan layanan dasar melalui APBD. - Persepsi publik dan legitimasi kebijakan
Jika masyarakat melihat kebijakan ini sebagai upaya “mendandani defisit keuangan,” legitimasi gubernur dan pemda Jabar bisa tergerus.
Kesimpulan
Kritik DPRD Jawa Barat terhadap inisiasi gerakan donasi Rp 1.000 per hari oleh Gubernur Dedi Mulyadi menyoroti sejumlah poin penting: beban sosial, manajemen keuangan daerah, transparansi, dan konsekuensi terhadap siswa. Meskipun semangat gotong royong dan kebersamaan muncul sebagai latar belakang gerakan, pelaksanaannya harus matang agar tidak menimbulkan masalah baru.
Rekomendasi agar gerakan seperti ini berhasil justru perlu dialog antara eksekutif dan legislatif, uji praktik di zona terbatas, serta mekanisme evaluasi dan pengawasan yang kuat. Jika dilembagakan dengan sistem yang adil dan transparan, gerakan donasi kecil bisa menjadi alat partisipasi publik. Namun tanpa perumusan dan pengawasan yang baik, risiko beban sosial dan kritik legislatif akan terus menghantui.